Wah, hebatnya anaknya Bu A usia 5 tahun sudah lancar sekali membacanya. Kok, anakku belum ya
Anak pertamanya Bu B itu lho kok tidak bisa diam sih saat ada pengajian. Padahal adiknya selalu duduk tenang sepanjang acara.
Anakku meskipun belajar Bahasa Inggris setiap hari kok tetap saja susah pahamnya, sementara anak Bu C baru beberapa waktu ikutan belajar langsung berani ngomong.
Apakah Ayah/Bunda pernah mengalami demikian? Baik sebagai pelaku yang membandingkan ataupun objek yang anaknya dibicarakan? Sebenarnya boleh tidak sih membandingkan anak itu?
Sebelum menjawab tentang boleh tidaknya membandingkan anak. Kita perlu melakukan flash back bahwa anak yang telah Allah hadirkan dalam kehidupan kita adalah suatu konsekuensi dari sebuah pernikahan. Dari pernikahan, kita memohon agar Allah mengaruniakan kita keturunan, betul kan? Itu artinya bahwa anak itu hadir atas undangan dari orang tua yang telah Allah Acc untuk hadir dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, anak adalah suatu amanah besar dari Allah kepada para orang tua. Di saat Allah memberikan amanah tersebut, ternyata Allah juga telah menginstall sepaket lengkap ilmu pengasuhan dalam diri orang tua berupa intuisi/hikmah pengasuhan. Masyaallah, luar biasa bukan? Amanah datang sekaligus perangkat untuk menjalankan amanah tersebut. Oleh karena itu para orang tua harus yakin bahwa pasti bisa merawat dan mengasuh anaknya. Asalkan sekuat tenaga mau belajar dan berusaha menyambut fitrah tersebut.
Lalu, apakah kita boleh membandingkan anak? Jawabannya bisa
jadi boleh atau tidak boleh. Boleh, jika kita membandingkan perkembangan dan
pencapaian anak dengan dirinya sendiri di waktu sebelumnya dan waktu
setelahnya. Tidak boleh, jika kita membandingkan anak yang satu dengan yang lain
sekalipun mereka bersaudara. Sepakat, ya?
Mengapa kita terkadang membandingkan anak? Bisa jadi, alasan
yang pertama adalah karena ekspektasi atau harapan kita yang tinggi terhadap
anak. Kita maunya anak kita serba yang terbaik, terdepan, terunggul dan berbagai
ter- yang lainnya. Memang ini adalah sesuatu yang wajar menjadi keinginan
setiap orang tua ketika menginginkan anaknya selalu menjadi yang terbaik. Namun
ingat, bahwa setiap anak itu unik. Bahkan karena keunikannya, setiap anak
memiliki jalan hidupnya masing-masing yang tidak bisa disamakan sekalipun
mereka bersaudara. “Katakanlah : tiap-tiap orang itu beramal menurut
pembawaannya (bakatnya) masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui orang yang
lebih benar dan lebih tepat jalan yang ditempuhnya.” (QS Al Isra 84).
Alasan kedua, mengapa kita terkadang membandingkan anak
adalah karena kita kurang mendapat informasi terkait perkembangan alami anak.
Ini mungkin termasuk yang paling sering terjadi. Para bunda galau ketika
anaknya usia 1 tahun tapi belum bisa berjalan hanya karena melihat anak
tetangga sudah bisa berjalan meskipun tertatih-tatih. Andaikan bunda tahu
ilmunya (misal tentang tahap perkembangan anak dan kapan red flagnya) pasti bunda
tidak akan galau lagi tapi justru menjadikan ini sebagai motivasi untuk
senantiasa menstimulasi. Betul, kan?
Sangat disayangkan apabila orang tua terburu-buru untuk
membandingkan anak. Kenapa tidak boleh membandingkan? Karena kita tahu bahwa setiap
anak adalah unik maka tidak layak kita membanding-bandingkan, selain itu juga berpengaruh
pada emosionalnya yaitu berdampak pada pembentukan konsep dirinya kelak. Akibat
sering dibanding-bandingkan sehingga anak menjadi peragu, tidak percaya diri,
gampang minder, penakut, dsb. Tentunya para orang tua tidak mau anaknya mengalami
demikian, bukan?
Lain halnya jika membandingkan perkembangan dan pencapaian anak dengan dirinya sendiri dari waktu ke waktu tentu sangat boleh dilakukan. Kira-kira, aspek apa saja yang bisa dibandingkan? Setidaknya ada 2 aspek yaitu aspek perkembangan dasar dan memahami minat anak :
1. Aspek Perkembangan Dasar yang mencakup antara lain : keimanan/ aqidah, sensori-motorik, sosial-emosional/ egosentris, bahasa, kognitif/ pemecahan masalah, estetika/ keindahan. Semua aspek tersebut ada indikator capaian yang disesuaikan dengan usianya. Ini merujuk pada Standar Tingkat Pencapaian dan Perkembangan Anak (STPPA) Kemendikbud.
2. Aspek Memahami Minat Anak : tema apa saja yang membuat anak terlihat antusias misal tentang alat transportasi, dunia angkasa, hewan peliharaan, sains dll. Memahami aktifitas yang disukai misal suka mengatur, suka menata, suka bersahabat, suka menyapa, suka berkumpul dengan orang, suka menganalisis, suka bicara.
Ketika orang tua memahami tentang tahapan perkembangan
kemampuan dasar anak dan minat bakat maka orang tua bisa rileks dalam
membersamai anak. Tak perlu lagi membanding-bandingkan dengan anak lain ataupun
saudaranya. Justru yang harus dilakukan adalah observasi terhadap apa saja
aspek perkembangan anak yang sudah, belum, dan perlu diulang fasenya. Serta
mengenali apa yang menjadi minat anak. Melalui aktifitas harian, pertanyaan
yang diajukan anak dan hal-hal yang membuat anak penasaran atau ingin mengetahuinya.
Sehingga yang kita harapkan adalah terbentuknya konsep diri (self concept) yang membawanya pada peran
dan jalan hidup bermakna sesuai dengan tujuan Allah menciptakan dirinya akan
tercapai. Tentunya, ini akan membuat anak bahagia dalam kehidupannya.
Wahai, para orang tua yakinlah setiap anak kita adalah unik.
Bantu ia bertumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya agar kelak mampu menemukan
peran terbaik dalam hidupnya jauh lebih awal daripada yang kita alami.
Berhentilah untuk membandingkan dengan anak lain karena ia berhak menyusuri
jalan hidup yang telah Allah gariskan dengan persaan bahagia bukan karena
tekanan.
(Disarikan
dari Kulzoom Membandingkan Anak, Bolehkah? Dengan Narasumber : Bunda Ainun
Analisa, S.IP pada Sabtu, 20 Maret 2021 yang diselenggarakan oleh KB TKIT
Permata Mulia dan SD Islam Permata Mojosari.)