Monday, March 22, 2021

Yakinlah Setiap Anak itu Unik


Wah, hebatnya anaknya Bu A usia 5 tahun sudah lancar sekali membacanya. Kok, anakku belum ya

Anak pertamanya Bu B itu lho kok tidak bisa diam sih saat ada pengajian. Padahal adiknya selalu duduk tenang sepanjang acara.

Anakku meskipun belajar Bahasa Inggris setiap hari kok tetap saja susah pahamnya, sementara anak Bu C baru beberapa waktu ikutan belajar langsung berani ngomong.

 Apakah Ayah/Bunda pernah mengalami demikian? Baik sebagai pelaku yang membandingkan ataupun objek yang anaknya dibicarakan? Sebenarnya boleh tidak sih membandingkan anak itu?

    Sebelum menjawab tentang boleh tidaknya membandingkan anak. Kita perlu melakukan flash back bahwa anak yang telah Allah hadirkan dalam kehidupan kita adalah suatu konsekuensi dari sebuah pernikahan. Dari pernikahan, kita memohon agar Allah mengaruniakan kita keturunan, betul kan? Itu artinya bahwa anak itu hadir atas undangan dari orang tua yang telah Allah Acc untuk hadir dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, anak adalah suatu amanah besar dari Allah kepada para orang tua. Di saat Allah memberikan amanah tersebut, ternyata Allah juga telah menginstall sepaket lengkap ilmu pengasuhan dalam diri orang tua berupa intuisi/hikmah pengasuhan. Masyaallah, luar biasa bukan? Amanah datang sekaligus perangkat untuk menjalankan amanah tersebut. Oleh karena itu para orang tua harus yakin bahwa pasti bisa merawat dan mengasuh anaknya. Asalkan sekuat tenaga mau belajar dan berusaha menyambut fitrah tersebut.

Lalu, apakah kita boleh membandingkan anak? Jawabannya bisa jadi boleh atau tidak boleh. Boleh, jika kita membandingkan perkembangan dan pencapaian anak dengan dirinya sendiri di waktu sebelumnya dan waktu setelahnya. Tidak boleh, jika kita membandingkan anak yang satu dengan yang lain sekalipun mereka bersaudara. Sepakat, ya?

Mengapa kita terkadang membandingkan anak? Bisa jadi, alasan yang pertama adalah karena ekspektasi atau harapan kita yang tinggi terhadap anak. Kita maunya anak kita serba yang terbaik, terdepan, terunggul dan berbagai ter- yang lainnya. Memang ini adalah sesuatu yang wajar menjadi keinginan setiap orang tua ketika menginginkan anaknya selalu menjadi yang terbaik. Namun ingat, bahwa setiap anak itu unik. Bahkan karena keunikannya, setiap anak memiliki jalan hidupnya masing-masing yang tidak bisa disamakan sekalipun mereka bersaudara. “Katakanlah : tiap-tiap orang itu beramal menurut pembawaannya (bakatnya) masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui orang yang lebih benar dan lebih tepat jalan yang ditempuhnya.” (QS Al Isra 84).

Alasan kedua, mengapa kita terkadang membandingkan anak adalah karena kita kurang mendapat informasi terkait perkembangan alami anak. Ini mungkin termasuk yang paling sering terjadi. Para bunda galau ketika anaknya usia 1 tahun tapi belum bisa berjalan hanya karena melihat anak tetangga sudah bisa berjalan meskipun tertatih-tatih. Andaikan bunda tahu ilmunya (misal tentang tahap perkembangan anak dan kapan red flagnya) pasti bunda tidak akan galau lagi tapi justru menjadikan ini sebagai motivasi untuk senantiasa menstimulasi. Betul, kan?

Sangat disayangkan apabila orang tua terburu-buru untuk membandingkan anak. Kenapa tidak boleh membandingkan? Karena kita tahu bahwa setiap anak adalah unik maka tidak layak kita membanding-bandingkan, selain itu juga berpengaruh pada emosionalnya yaitu berdampak pada pembentukan konsep dirinya kelak. Akibat sering dibanding-bandingkan sehingga anak menjadi peragu, tidak percaya diri, gampang minder, penakut, dsb. Tentunya para orang tua tidak mau anaknya mengalami demikian, bukan?

Lain halnya jika membandingkan perkembangan dan pencapaian anak dengan dirinya sendiri dari waktu ke waktu tentu sangat boleh dilakukan. Kira-kira, aspek apa saja yang bisa dibandingkan? Setidaknya ada 2 aspek yaitu aspek perkembangan dasar dan memahami minat anak :

1. Aspek Perkembangan Dasar yang mencakup antara lain : keimanan/ aqidah, sensori-motorik, sosial-emosional/ egosentris, bahasa, kognitif/ pemecahan masalah, estetika/ keindahan. Semua aspek tersebut ada indikator capaian yang disesuaikan dengan usianya. Ini merujuk pada Standar Tingkat Pencapaian dan Perkembangan Anak (STPPA) Kemendikbud.

2. Aspek Memahami Minat Anak : tema apa saja yang membuat anak terlihat antusias misal tentang alat transportasi, dunia angkasa, hewan peliharaan, sains dll. Memahami aktifitas yang disukai misal suka mengatur, suka menata, suka bersahabat, suka menyapa, suka berkumpul dengan orang, suka menganalisis, suka bicara.

Ketika orang tua memahami tentang tahapan perkembangan kemampuan dasar anak dan minat bakat maka orang tua bisa rileks dalam membersamai anak. Tak perlu lagi membanding-bandingkan dengan anak lain ataupun saudaranya. Justru yang harus dilakukan adalah observasi terhadap apa saja aspek perkembangan anak yang sudah, belum, dan perlu diulang fasenya. Serta mengenali apa yang menjadi minat anak. Melalui aktifitas harian, pertanyaan yang diajukan anak dan hal-hal yang membuat anak penasaran atau ingin mengetahuinya. Sehingga yang kita harapkan adalah terbentuknya konsep diri (self concept) yang membawanya pada peran dan jalan hidup bermakna sesuai dengan tujuan Allah menciptakan dirinya akan tercapai. Tentunya, ini akan membuat anak bahagia dalam kehidupannya.  

Wahai, para orang tua yakinlah setiap anak kita adalah unik. Bantu ia bertumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya agar kelak mampu menemukan peran terbaik dalam hidupnya jauh lebih awal daripada yang kita alami. Berhentilah untuk membandingkan dengan anak lain karena ia berhak menyusuri jalan hidup yang telah Allah gariskan dengan persaan bahagia bukan karena tekanan.

 



(Disarikan dari Kulzoom Membandingkan Anak, Bolehkah? Dengan Narasumber : Bunda Ainun Analisa, S.IP pada Sabtu, 20 Maret 2021 yang diselenggarakan oleh KB TKIT Permata Mulia dan SD Islam Permata Mojosari.)

 

Monday, March 15, 2021

Memaknai Arti Keluarga dari Kisah Mbolang

 

    Sejak pandemi covid terjadi, hampir sebagian besar orang akan merindukan yang namanya rekreasi. Rindu berjalan-jalan bebas keluar rumah, berkegiatan seperti sebelumnya ataupun hanya sekedar berkunjung ke tempat keramaian. Betul tidak? Aku pun demikian. Sangat rindu mbolang meskipun masih sangat parno terhadap kondisi pandemi yang juga belum usai. Namun, rasa jenuh semakin akut karena hanya beraktifitas di rumah, di sekitar perumahan, dan maksimal ke luar untuk membeli kebutuhan. Akhirnya hari kamis lalu tepatnya tanggal 11 Maret 2021, kami (aku, suami, dan si kecil) pun bersepakat untuk mbolang.

 Beberapa hari sebelumnya, aku sudah mencari informasi tempat wisata alam yang akan kami kunjungi. Kebetulan ada edupark yang sedang soft launching sehingga kami berencana kesana dan mendaftar terlebih dahulu. Qodarullah, sehari sebelumnya mendapat kabar dari panitia bahwa soft launching ada pembatasan jumlah pengunjung sehingga kami tidak kebagian jatah untuk bisa hadir. Baiklah, akhirnya kami pun mulai mencari tempat pengganti dan itu pun diputuskan beberapa menit sebelum kami fix berangkat. Ke mana mbolangnya? Kami pilih yang dekat hanya berjarak 24 km dari rumah kami di Kutorejo Mojokerto yaitu mbolang ke Pacet.

    Sesuai dengan keinginan bahwa kami akan mbolang ke Pacet dengan menggunakan motor. Boncengan bertiga menyusuri naik turunnya jalanan khas pegunungan yang hampir sebagian besar kanan kiri jalanan adalah hutan dan jurang. Menikmati sejuknya udara pegunungan dan kicauan belalang hutan yang saling bersaut-sautan. Sebuah perjalanan sederhana yang telah lama kami rindukan. Hanya kurang beberapa kilometer lagi, kami akan sampai di tujuan. Namun, semakin ke atas semakin tinggi pula tanjakan yang harus kami lalui. Bukan lagi tanjakan dengan sudut 30 atau 45 melainkan lebih dari itu. Sayangnya, motor buntut yang kami gunakan tidak kuat melewati tanjakan curam dengan mengangkut tiga orang. Si motor buntut hampir saja mati ditengah posisi tanjakan curam. Aku agak panik tapi untungnya suami tetap saja santai. Apa yang harus kami lakukan? Hanya ada 2 pilihan yaitu menyerah dengan menghentikan perjalanan dan terpaksa balik atau tetap melanjutkan perjalanan dengan konsekuensi aku dan si kecil harus turun dari motor untuk mengurangi beban.

    Baiklah, dengan berat hati akhirnya aku dan si kecil terpaksa turun dari motor dan berjalan beberapa meter sementara suami tetap melaju dengan motor sampai akhir tanjakan. Masalahnya, ini bukan perkara jalan biasa. Aku harus berjalan sambil menggendong si kecil yang lagi tidur dan posisi jalanan menanjak pula. Sekedar berjalan biasa saja aku sudah terasa ngos-ngosan karena tanjakan apalagi ditambah menggendong si kecil 13 kg. Wuih…terasa sekali bebannya. Si motor buntut pun diistirahatkan sebentar sambil menunggu diriku memulihkan tenaga setelah ngos-ngosan.  Akhirnya si motor buntut pun siap melanjutkan perjalanan dan Alhamdulillah ternyata hanya kurang 10 menit saja kami sudah sampai di lokasi yaitu di Wisata Edukasi Terpadu Sendi Adventure. Lega rasanya dan capek pun seketika menghilang melihat pemandangan alam yang begitu menyegarkan.

    Aku pun menyeletuk pada suami, “Untung tadi kita pantang menyerah ya meskipun harus berlelah-lelah terlebih dahulu.”

    “Ha…ha…ha…Makasih lho bund sudah rela berjalan menanjak sambil menggendong. Itung-itung olah raga.”


 

    Begitulah, dari perjalanan sederhana ini Allah mengingatkan kami tentang pemaknaan kata keluarga. Kami tersadarkan kembali bahwa perjalanan panjang hidup berkeluarga pasti ada lika-likunya. Tak selalu mulus namun juga tak selamanya selalu bergejolak. Asalkan selalu bahu membahu dalam menyelesaikan masalah yang ada, insyaallah pasti akan sampai pada tujuan bersama.

Kami pun belajar untuk saling menurunkan ego ketika di kondisi tertentu, agar kebersamaan tetap terjaga. Seperti pada kisah mbolang kami, apa jadinya ketika suami bersikeras tetap melanjutkan perjalanan dan aku bersikeras untuk balik pulang saja? Tentu yang ada adalah perselisihan. Oleh karena itu dipilihlah solusi demikian agar rencana awal tetap terlaksana. Meskipun agak memberatkan di satu sisi.

Selain itu, kami juga menyadari bahwa keluarga ibarat tim. Ketika ada suatu tantangan yang kami hadapi dan itu menyulitkan maka kesulitan itu akan dirasakan bersama. Kesulitan yang dirasakan bersama terasa lebih ringan daripada dipikul oleh hanya seseorang diri. Begitu pula ketika kita berhasil menaklukkan tantangan dan memperoleh kemenangan maka kemenangan tersebut jauh lebih berkesan dan lebih bermakna ketika dirasakan oleh seluruh anggota. Apalah gunanya hanya merasa senang dan menikmati hiburan jika hanya seorang diri sementara anggota keluarga yang lain tak turut merasakan. Itulah tim terhebat yang akan selalu siap menghadapi senang susahnya kehidupan yaitu keluarga.

Untuk keluarga kecilku, mari bertumbuh bersama menuju peran terbaik yang mampu kita berikan untuk masyarakat. Bergandengan satu sama lain untuk saling menguatkan dan meluaskan manfaat.

Monday, October 7, 2019

Menulis Itu Butuh Keberanian (keberanian untuk memulai menulis dan berkarya, mengalirkan rasa yang berwujud untaian kata penuh makna)


Pernahkah kita mengalami krisis percaya diri dalam menulis? Atau tidak berani untuk memulai karena merasa belum cukup ide? Aku pun juga mengalami demikian. Terkadang, aku terlalu berpikir yang berlebih tentang apa yang akan di tulis. “Kalau mengambil tema ini sepertinya tidak sesuai dengan karakterku deh”, “ini sepertinya bahasanya terlalu vulgar dan terlalu membuka aib”, “duh…kenapa tulisanku seperti berputar-putar tidak menemukan titik temu ya” dan pertanyaan beruntun lainnya. Alhasil, tulisan yang dihasilkan tidak bisa mengalir dengan santai dan parahnya lagi adalah tidak menjadi tulisan yang utuh alias mandeg ditengah jalan dan memilih untuk menyudahi. Terlalu ragu-ragu dalam menulis sehingga isi kepala tidak bisa dikeluarkan dengan plong. Bahkan untuk sekedar menuliskan satu kalimat awalan pun tidak henti-hentinya backspace dan delete berpacu satu sama lain. Rasanya berat untuk menuangkan unek-unek ataupun ide ke dalam tulisan. Segala yang ada di kepala tumpang tindih, sulit untuk mengurainya sehingga diri ini tidak yakin mampu menyelesaikan tulisan. Itulah yang kurasakan, krisis percaya diri dan kurang berani memulai menulis. Tidak heran jika banyak yang mengatakan bahwa pentingnya memiliki mental pemberani dalam menulis.
Tentang keberanian dalam menulis. Sekilas yang terbersit dalam pikiranku ketika mengutip dari Pramudya Ananta Toer “ Menulis adalah sebuah keberanian” adalah keberanian dalam menyuarakan kebenaran, keberanian untuk beropini, keberanian untuk mengungkapkan apa yang menggelitik nurani ketika kebebasan itu dibungkam. Meski, setiap orang memiliki dimensi keberanian yang berbeda-beda dalam tulisannya. Keberanian dalam hal ini menurut versiku cukup sederhana yaitu keberanian untuk memulai menulis dan mengakhirinya dengan karya yang utuh. Dan tekad itupun semakin menguat ketika mengikuti berbagai komunitas kepenulisan meskipun hampir semua yang aku ikuti adalah komunitas kepenulisan berbasis online. Tapi masyaallah, efeknya sungguh terasa dibandingkan hanya mengumpulkan tekad keberanian seorang diri. Dan yang baru-baru ini adalah mendapatkan suntikan semangat dari mbak Kiki Handriyani founder komunitas BloMil (Blogger Mungil) saat di kelas menulis Nulisyuk batch 38. Meskipun baru materi pertama tapi terasa sekali suntikan semangatnya untuk bener-bener move on dengan menulis, sesuai sekali dengan judul materi pertamanya.
  
Ketika simpul-simpul keberanian untuk berkarya melalui tulisan telah siap disatukan untuk memunculkan aksi. Maka akupun memiliki keinginan agar bisa menulis tidak sekedar menulis, tapi menulis yang mampu menjadi inspirasi, memberi motivasi pembaca dan menjadi syiar kebaikan serta amal jariyah bagi penulis. Karena pada hakikatnya seorang penulis itu akan abadi dengan karya-karyanya. Seperti halnya ilmu yang akan lebih menancap di memori manakala kita mengikatnya dengan menulis.  “ Ilmu itu adalah hewan buruan dan menulis itu adalah ikatannya. Ikatlah buruan kamu dengan tali yang kuat yakni menulisnya (Imam Syafii). Ah… semoga selalu ada keberanian untuk memulai menulis dan berkarya, mengalirkan rasa yang berwujud untaian kata penuh makna.  Teruntuk kelas menulis Nulisyuk batch 38, harapan terbesarnya mampu menjadi trigger untuk membuatku istiqomah menulis melalui blog. Syukur-syukur jika mampu menjadi blogger keren seperti mbak Kiki dan menjadi penulis buku.
#Nulisyukbatch38
                                            Sumber foto : quetofancy.com





Sunday, October 6, 2019

Welcome to My Blog (Saatnya membangun kembali rumah baru dan berupaya untuk merawatnya dengan penuh cinta)


Selamat datang di blog super anyar nya Aya. Senang rasanya berhasil membuat rumah baru setelah rumah yang sebelumnya tidak terawat dan akhirnya menghilang ditelan zaman. Jika blog ini ibarat rumah, maka bulan oktober 2019 ini saya telah berhasil membangun rumah kembali. Rumahnya masih kosong belum ada apa-apanya karena masih tahap awal. Benar-benar hanya berwujud bangunan rumah belum ada isi perabotnya, belum ada pembagian ruangannya, dan belum memiliki tetangga. Pas banget kan dengan kondisi blog ini yang nyaris baru dibuat dan belum ada postingan satupun. Hehe…dan ini adalah postingan pertama sekaligus untuk setor tugas.

Sempat bingung juga mau memberikan nama blog apa dan belum terpikirkan ide sebelumnya. Spontan buat dan saat itu pula langsung terpikirkan nama blognya “Cita Cerita Aya”. Aya adalah nama panggilan saya dari seorang teman dan uniknya hanya dia yang memanggil saya demikian. Berasal dari penggalan nama awal saya namun tidak biasa orang lain memanggil demikian. Simpel dan unik, sehingga saya menjadikannya nama yang familiar untuk blog ini.  Mungkin, kedepannya akan menjadi blog yang gado-gado untuk content nya sambil mencari kefokusan menulis selanjutnya. Yah, semacam diary untuk menampung tulisan apapun yang ingin saya bagikan. Terutama yang ada point manfaatnya untuk orang lain. Oleh karena itu kenapa saya menyebutkan kata “Cita dan Cerita”. Karena akan ada banyak cerita yang akan diulas dan tentang cita yang menjadi harapan dan keinginan.

            “Sebelum menjadi professional semua pasti bermula dari amatiran”. “Sebelum mencapai puncak tangga kehidupan, pasti akan melewati tangga pertama untuk memulai”. Yups, semuanya memang harus dimulai dari langkah pertama dan tidak perlu berkecil hati dalam memulai. Sebelum menjadi penulis besar tidak jarang juga yang berawal dari menulis artikel, diary ataupun antologi kan ! Sebelum menjadi blogger besar semua juga bermula dari amatiran membuat blog. Dan kini saatnya saya pun memulai. Untuk menjaga semangat menulis yang masih sering timbul tenggelam, membara ataupun bahkan padam. Dan inilah salah satu jalan yang saya pilih untuk berlatih konsistensi tersebut yaitu dengan membuat blog dan belajar untuk merawatnya dengan rajin menulis untuk di posting.
            Semoga niatan untuk berbagi manfaat lewat tulisan dan berdakwah lewat pena senantiasa terjaga dalam menghasilkan tulisan berbobot. Menjaga konsistensi ini memang berat tapi bukan berarti tidak bisa, dan bukan berarti pula tidak mampu untuk dilakukan kalau kita tidak memulainya.
Selamat datang, dan nantikan postingan saya selanjutnya.
#nulisyuk #belajarmenulis #nulisyukbatch37

Yakinlah Setiap Anak itu Unik

Wah, hebatnya anaknya Bu A usia 5 tahun sudah lancar sekali membacanya. Kok, anakku belum ya Anak pertamanya Bu B itu lho kok tidak bisa dia...