Monday, March 15, 2021

Memaknai Arti Keluarga dari Kisah Mbolang

 

    Sejak pandemi covid terjadi, hampir sebagian besar orang akan merindukan yang namanya rekreasi. Rindu berjalan-jalan bebas keluar rumah, berkegiatan seperti sebelumnya ataupun hanya sekedar berkunjung ke tempat keramaian. Betul tidak? Aku pun demikian. Sangat rindu mbolang meskipun masih sangat parno terhadap kondisi pandemi yang juga belum usai. Namun, rasa jenuh semakin akut karena hanya beraktifitas di rumah, di sekitar perumahan, dan maksimal ke luar untuk membeli kebutuhan. Akhirnya hari kamis lalu tepatnya tanggal 11 Maret 2021, kami (aku, suami, dan si kecil) pun bersepakat untuk mbolang.

 Beberapa hari sebelumnya, aku sudah mencari informasi tempat wisata alam yang akan kami kunjungi. Kebetulan ada edupark yang sedang soft launching sehingga kami berencana kesana dan mendaftar terlebih dahulu. Qodarullah, sehari sebelumnya mendapat kabar dari panitia bahwa soft launching ada pembatasan jumlah pengunjung sehingga kami tidak kebagian jatah untuk bisa hadir. Baiklah, akhirnya kami pun mulai mencari tempat pengganti dan itu pun diputuskan beberapa menit sebelum kami fix berangkat. Ke mana mbolangnya? Kami pilih yang dekat hanya berjarak 24 km dari rumah kami di Kutorejo Mojokerto yaitu mbolang ke Pacet.

    Sesuai dengan keinginan bahwa kami akan mbolang ke Pacet dengan menggunakan motor. Boncengan bertiga menyusuri naik turunnya jalanan khas pegunungan yang hampir sebagian besar kanan kiri jalanan adalah hutan dan jurang. Menikmati sejuknya udara pegunungan dan kicauan belalang hutan yang saling bersaut-sautan. Sebuah perjalanan sederhana yang telah lama kami rindukan. Hanya kurang beberapa kilometer lagi, kami akan sampai di tujuan. Namun, semakin ke atas semakin tinggi pula tanjakan yang harus kami lalui. Bukan lagi tanjakan dengan sudut 30 atau 45 melainkan lebih dari itu. Sayangnya, motor buntut yang kami gunakan tidak kuat melewati tanjakan curam dengan mengangkut tiga orang. Si motor buntut hampir saja mati ditengah posisi tanjakan curam. Aku agak panik tapi untungnya suami tetap saja santai. Apa yang harus kami lakukan? Hanya ada 2 pilihan yaitu menyerah dengan menghentikan perjalanan dan terpaksa balik atau tetap melanjutkan perjalanan dengan konsekuensi aku dan si kecil harus turun dari motor untuk mengurangi beban.

    Baiklah, dengan berat hati akhirnya aku dan si kecil terpaksa turun dari motor dan berjalan beberapa meter sementara suami tetap melaju dengan motor sampai akhir tanjakan. Masalahnya, ini bukan perkara jalan biasa. Aku harus berjalan sambil menggendong si kecil yang lagi tidur dan posisi jalanan menanjak pula. Sekedar berjalan biasa saja aku sudah terasa ngos-ngosan karena tanjakan apalagi ditambah menggendong si kecil 13 kg. Wuih…terasa sekali bebannya. Si motor buntut pun diistirahatkan sebentar sambil menunggu diriku memulihkan tenaga setelah ngos-ngosan.  Akhirnya si motor buntut pun siap melanjutkan perjalanan dan Alhamdulillah ternyata hanya kurang 10 menit saja kami sudah sampai di lokasi yaitu di Wisata Edukasi Terpadu Sendi Adventure. Lega rasanya dan capek pun seketika menghilang melihat pemandangan alam yang begitu menyegarkan.

    Aku pun menyeletuk pada suami, “Untung tadi kita pantang menyerah ya meskipun harus berlelah-lelah terlebih dahulu.”

    “Ha…ha…ha…Makasih lho bund sudah rela berjalan menanjak sambil menggendong. Itung-itung olah raga.”


 

    Begitulah, dari perjalanan sederhana ini Allah mengingatkan kami tentang pemaknaan kata keluarga. Kami tersadarkan kembali bahwa perjalanan panjang hidup berkeluarga pasti ada lika-likunya. Tak selalu mulus namun juga tak selamanya selalu bergejolak. Asalkan selalu bahu membahu dalam menyelesaikan masalah yang ada, insyaallah pasti akan sampai pada tujuan bersama.

Kami pun belajar untuk saling menurunkan ego ketika di kondisi tertentu, agar kebersamaan tetap terjaga. Seperti pada kisah mbolang kami, apa jadinya ketika suami bersikeras tetap melanjutkan perjalanan dan aku bersikeras untuk balik pulang saja? Tentu yang ada adalah perselisihan. Oleh karena itu dipilihlah solusi demikian agar rencana awal tetap terlaksana. Meskipun agak memberatkan di satu sisi.

Selain itu, kami juga menyadari bahwa keluarga ibarat tim. Ketika ada suatu tantangan yang kami hadapi dan itu menyulitkan maka kesulitan itu akan dirasakan bersama. Kesulitan yang dirasakan bersama terasa lebih ringan daripada dipikul oleh hanya seseorang diri. Begitu pula ketika kita berhasil menaklukkan tantangan dan memperoleh kemenangan maka kemenangan tersebut jauh lebih berkesan dan lebih bermakna ketika dirasakan oleh seluruh anggota. Apalah gunanya hanya merasa senang dan menikmati hiburan jika hanya seorang diri sementara anggota keluarga yang lain tak turut merasakan. Itulah tim terhebat yang akan selalu siap menghadapi senang susahnya kehidupan yaitu keluarga.

Untuk keluarga kecilku, mari bertumbuh bersama menuju peran terbaik yang mampu kita berikan untuk masyarakat. Bergandengan satu sama lain untuk saling menguatkan dan meluaskan manfaat.

No comments:

Post a Comment

Yakinlah Setiap Anak itu Unik

Wah, hebatnya anaknya Bu A usia 5 tahun sudah lancar sekali membacanya. Kok, anakku belum ya Anak pertamanya Bu B itu lho kok tidak bisa dia...